TUGAS TULISAN PKN
1. Contoh-contoh Pelanggaran Ham di
Indonesia yang diatur dalam Pasal 28A – 28 J
a. Kasus Tanjung Priok (1984)
Kasus tanjung Priok terjadi tahun
1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah SARA dan
unsur politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana
terdapat rarusan korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.
b. Kasus terbunuhnya Marsinah,
seorang pekerja wanita PT Catur Putera Surya Porong, Jatim (1994)
Marsinah adalah salah satu korban
pekerja dan aktivitas yang hak-hak pekerja di PT Catur Putera Surya, Porong
Jawa Timur. Dia meninggal secara mengenaskan dan diduga menjadi korban
pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.
c. Kasus terbunuhnya wartawan Udin
dari harian umum bernas (1996)
Wartawan Udin (Fuad Muhammad
Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian Bernas yang diduga diculik,
dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.
d. Peristiwa Aceh (1990)
Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak
tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari pihak aparat maupun penduduk
sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik
dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.
e. Peristiwa penculikan para aktivis
politik (1998)
Telah terjadi peristiwa penghilangan
orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang menurut catatan
Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang
lainnya masih hilang).
f. Peristiwa Trisakti dan Semanggi
(1998)
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei
1998 (4 mahasiswa meninggal dan puluhan lainnya luka-luka). Tragedi Semanggi I
terjadi pada 11-13 November 1998 (17 orang warga sipil meninggal) dan tragedi
Semanggi II pada 24 September 1999 (1 orang mahasiswa meninggal dan 217 orang
luka-luka).
g. Peristiwa kekerasan di Timor
Timur pasca jejak pendapat (1999)
Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia
menjelang dan pasca jejak pendapat 1999 di timor timur secara resmi ditutup
setelah penyerahan laporan komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia –
Timor Leste kepada dua kepala negara terkait.
h. Kasus Ambon (1999)
Peristiwa yang terjadi di Ambon ni
berawal dari masalah sepele yang merambat kemasala SARA, sehingga dinamakan
perang saudara dimana telah terjadi penganiayaan dan pembunuhan yang memakan
banyak korban.
i. Kasus Poso (1998 – 2000)
Telah terjadi bentrokan di Poso yang
memakan banyak korban yang diakhiri dengan bentuknya Forum Komunikasi Umat
Beragama (FKAUB) di kabupaten Dati II Poso.
j. Kasus Dayak dan Madura (2000)
Terjadi bentrokan antara suku dayak
dan madura (pertikaian etnis) yang juga memakan banyak korban dari kedua belah
pihak.
k. Kasus TKI di Malaysia (2002)
Terjadi peristiwa penganiayaan
terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia dari persoalan penganiayaan oleh majikan
sampai gaji yang tidak dibayar.
l. Kasus bom Bali (2002) DAN
beberapa tempat lainnya
Telah terjadi peristiwa pemboman di
Bali, yaitu tahun 2002 dan tahun 2005 yang dilakukan oleh teroris dengan
menelan banyak korban rakyat sipil baik dari warga negara asing maupun dari
warga negara Indonesia sendiri.
2. Demokrasi yang pernah berlaku di
Indonesia
a. Periode Berlakunya
Demokrasi Liberal (1945-1959)
Pada masa ini, awal mulanya
diterapkan demokrasi dengan system kabinet presidensial yaitu para menteri
diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden, sehingga yang
berhak memberhentikannya adalah presiden. Namun setelah dikeluarkannya Maklumat
Wakil Presiden No. X yang menyatakan BP KNIP menjadi sebuah lembaga yang
berwenang sebagaimana lembaga negara,
kemudian diperkuat dengan Maklumat
Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 yang menyatakan diperbolehkannya pembentukan
multipartai, serta Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang menegaskan
tanggung jawab adalah dalam tangan menteri. Lahirlah sistem pemerintahan
parlementer yang pada prinsipnya menegaskan pertanggung jawaban menteri-menteri
kepada parlemen. Pemberlakuan UUDS 1950 menegaskan berlakunya sistem
parlementer dengan multipartai. Namun perkembangan partai-partai tidak dapat
berlangsung lama karena koalisi yang dibangun sangat rapuh dan gampang pecah,
sehingga mengakibatkan tidak stabilnya pemerintahan pada saat itu.
b. Periode Berlakunya Demokrasi
Terpimpin (1959—1965)
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5
Juli 1959, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali, dan berakhirnya
pelaksanaan demokrasi liberal. Kemacetan politik yang terjadi pada masa itu
dapat diselesaikan dengan menggunakan demokrasi terpimpin, di mana dominasi
kepemimpinan yang kuat akan dapat mengendalikan kekuatan politik yang ada pada
saat itu. Keadaan pada masa demokrasi terpimpin diwarnai oleh tank menarik tiga
kekuatan politik yang paling utama, yaitu Soekarno, Angkatan
Darat dan PKI. Soekarno membutuhkan PKI untuk menandingi
kekuatan Angkatan Darat yang beralih fungsi sebagai kekuatan politik, sedangkan
PKI memerlukan Soekarno untuk mendapatkan perlindungan presiden dalam melawan
Angkatan Darat. Angkatan darat sendiri membutuhkan Soekarno untuk mendapatkan
legitimasi agar dapat terjun ke arena politik Indonesia.
Adanya tank ulur dalam kehidupan
politik saat itu, memunculkan masalah-masalah besar yang menyimpang dari
kehidupan demokrasi yang berdasarkan UUD 1945, yaitu:
1) Presiden diangkat sebagai
presiden seumur hidup berdasarkan ketetapan MPRS No.lI1/1963.
2) Adanya perangkapan jabatan oleh
beberapa orang, di mana seorang anggota kabinet dapat juga sekaligus menjadi
anggota MPRS.
3) Keanggotaan MPRS dan lembaga
negara lain tidak melalui proses demokrasi yang baik, karena dilakukan
dengan cara menunjuk seseorang untuk menjadi anggota lembaga negara tertentu.
4) Pelaksanaan demokrasi terpimpin
cenderung berpusat pada kekuasaan presiden yang melebihi apa yang ditentukan
oleh UUD 1945, yaitu dengan keluarnya produk hukum yang setingkat undangundang
dalam bentuk penetapan presiden (Penpres). Misalnya Penpres No.2/1959 tentang
pembentukan MPRS, Penpres No.3/1959 tentang DPAS dan Penpres No.3/1960 tentang
DPRGR.
5) DPR basil Pemilu 1955 dibubarkan
oleh Presiden karena RAPBN yang diajukan pemerintah tidak disetujui DPR, dan
dibentuklah DPRGR tanpa melalui pemilu.
6) Terjadinya penyelewengan terhadap
ideologi Pancasila dan UUD 1945, dengan berlakunya ajaran Nasakom
(Nasionalisme, Agama, Komunis).
7) Terjadinya Pembrontakan Gerakan
30 September PKI (G 30 S/PKI) yang mengajarkan ideologi komunis.
Peristiwa Gerakan 30 September PKI
dapat ditumpas dan dibubarkan beserta dengan antek-anteknya, bahkan PKI menjadi
organisasi terlarang. Hancurnya PKI, menandai berakhirnya sistem demokrasi
pepimpin dan munculnya Orde Baru yang ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen.
c. Periode Berlakunya Demokrasi
Pancasila (1965—1998)
Gerakan pembrontakan yang dilakukan
oleh PKI merupakan puncak penyimpangan yang terjadi pada masa berlakunya
demokrasi perpimpin. Tetapi hal ini menjadi titik tolak bagi pengemban Surat
Perintah 11 Maret, yaitu Soeharto untuk menuju puncak kepemimpinan nasional
dengan dikeluarkannya ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 tanggal 12 Maret 1967
tentang Pengangkatan Soeharto menjadi Presiden Negara Republik Indonesia.
Pada masa orde baru berlaku sistem
demokrasi pancasila. Dikatakan demokrasi pancasila karena sistem demokrasi yang
diterapkan didasarkan pada Pancasila, yang intinya adalah kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakiln yang dijiwai
sila pertama, kedua, ketiga dan menjiwai sila kelima. Pengertian demokrasi
pancasila tersebut sesuai dengan Tap MPRS No. XXVII/MPRS/1968 tentang Pedoman
Pelaksanaan Demokrasi Pancasila, di mana dalam ketetapan tersebut disebutkan
istilah Demokrasi Pancasiia adalah sama dengan sila keempat dari Pancasila. Ada
beberapa fungsi Demokrasi Pancasila, yaitu:
1) menjamin adanya keikutsertaan
rakyat dalam kehidupan bernegara;
2) menjamin tetap tegaknya negara
Proklamasi 17 Agustus 1945;
3) menjamin tetap tegaknya negara
kesatuan Republik Indonesia;
4) menjamin tetap tegaknya hukum
yang bersumber pada Pancasila;
5) menjamin adanya hubungan yang
serasi, selaras dan seimbang antara
lembaga-lembaga negara;
6) menjamin adanya pemerintahan yang
bertanggung jawab.
Prinsip atau asas pelaksanaan
Demokrasi Pancasila menurut pemerintahan orde baru ada tiga, yaitu:
1) menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan martabat manusia;
2) kekeluargaan dan gotong royong;
3) musyawarah mufakat.
Namun, demokrasi pancasila dalam era
Orde Baru hanya sebatas keinginan yang belum pernah terwujud. Karena gagasan
yang baik tu baru sampai taraf wacana belum diterapkan. Praktik kenegaraan dan
pemerintahan pada rezim ini tidak memberikan ruang bagi kehidupan
berdemokrasi. M. Rusli mengungkapkan ciri-ciri rezim orde haru
sebagai berikut.
1) Adanya dominasi peranan ABRI
dengan adanya Dwi Fungsi ABRI pada saat itu,
yaitu disamping sebagai kekuatan
pertahanan keamanan ABRI juga mempunyai peranan dalam bidang politik. Hal ini
dapat dilihat dengan jatah kursi yang diberikan ABRI dalam MPR;
2) Adanya birokrasi dan sentralisasi
dalam pengambilan keputusan politik;
3) Adanya pembatasan terhadap peran
dan fungsi partai dalam pengambilan
keputusan politik;
4) Adanya campur tangan pemerintah
dalam berbagai urusan partai
politik dan publik;
5) Adanya massa mengambang
6) Adanya monolitisasi ideologi
negara; yaitu negara tidak membiarkan
berkembangnya ideologi-ideologi
lain;
7) Adanya inkorporasi; yaitu
lembaga-lembaga non pemerintah diharapkan menyatu
dengan pemerintah, padahal
seharusnya sebagai alat kontrol bagi pemerintah. Kepemimpinan pada masa Orde
Baru bertumpu pada Soeharto sebagai presiden, ABRI, Golkar, dan
birokrasi. Pengambilan kebijakan bidang ekonomi lebih ditonjolkan tetapi ruang
kebebasan lebih dipersempit, sehingga pada pemerintahan orde baru nyaris tanpa
kontrol masyarakat. Hal ini mengakibatkan kemajuan ekonomi digerogoti oleh
korupsi, nepotisme, dan kolusi.
d. Periode Berlakunya Demokrasi
dalam Era Reformasi (1998-Sekarang)
Runtuhnya Orde Baru ditandai dengan
adanya krisis kepercayaan yang direspon oleh kelompok penekan (pressure
group) dengan mengadakan berbagai macam demonstrasi yang dipelopori oleh
mahasiswa, pelajar, LSM, politisi, maupun masyarakat.
Runtuhnya kekuasaan rezim orde baru
telah memberikan harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Masa
peralihan demokrasi ini merupakan masa yang sangat rumit dan kritis karena pada
masa ini akan ditentukan kearah mana demokrasi akan dibangun. Keberhasilan dan
kegagalan suatu transisi demokrasi sangat bergantung pada empat faktor, yaitu:
1) komposisi elite polit
2) desain institusi politik
3) kultur politik atau perubahan
sikap terhadap politik dikalangan elite
dan non elite politik
4) peran masyarakat madani.
Keempat faktor tersebut harus
berjalan sinergis sebagai modal untuk mengkonsolidasikan demokrasi.
Sedangkan Azyumardi Azra menyatakan langkah yang harus
dilakukan dalam transisi Indonesia menuju demokrasi sekurang-kurangnya mencakup
reformasi dalam tiga bidang besar, yaitu:
1) reformasi konstitusional (constitutional
reform) yang menyangkut
perumusan kembali falsafah, kerangka
dasar, dan perangkat legal
sistem politik.
2) reformasi kelembagaan (institutional
reform and empowerment),
yang menyangkut pengembangan dan
pemberdayaan lembaga politik;
3) pengembangan kultur atau budaya
politik (political culture) yang
lebih demokratis.
Sedangkan dinamika demokrasi pada
masa reformasi dapat dilihat berdasarkan aktifitas kenegaraan sebagai berikut.
1) Dikeluarkanya Undang-Undang No.
31 tahun 2002 tentang Partai Politik, memberikan ruang dan gerak lebih luas
untuk mendirikan partai politik yang memungkinkan berkembangnya multipartai.
Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 31 Tabun 2002 Pasal 2 ayat 1 yang
menyatakan “partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50
orang warga negara Indonesia yang telah
berusia 21 tahun dengan akta
notaris”.
2) Undang-Undang No.12 tahun 2003
tentang Pemilu memberikan kebebasan kepada warga negara untuk menggunakan hak
pilihnya secara langsung untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota maupun DPD. Bahkan pemilihan presiden dan wakilnya juga
dilaksanakan secara langsung.
3) Upaya untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih dari KKN, berwibawa dan bertanggung jawab dibuktikan
dengan keluarnya ketetapan MPR No.IX/MPR/1998 dan ditindak lanjuti dengan
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan sebagainya.
4) Lembaga legislatif dan organisasi
sosial politik sudah mempunyai keberanian untuk melakukan fungsi kontrol
terhadap ekskutif, sehingga terjadi check and balance.
5) Lembaga tertinngi negara MPR
berani mengambil langkah-langkah politik dengan adanya sidang tahunan dan
menuntut kepada pemerintah dan lembaga negara lain untuk menyampaikan laporan
kemajuan (progress report).
6) Adanya kebebasan media massa
tanpa ada rasa takut untuk dicabut surat ijin penerbitannya.
7) Adanya pembatasan masa jabatan
presiden, yaitu jabatan presiden paling lama adalah 2 periode masa
kepemimpinan.
Komentar
Posting Komentar